Jumat, 16 September 2016

Baituzzakah Pertamina, Beasiswa Bazma 2016, Scholarship Baituzzakah Pertamina



Inilah Saya Bagi Keluarga:
Mutiara Empunya Ibu
Perkenankanlah saya merefleksikan sedikit coretan saya ini dengan harapan angin membawa terbang cita-cita saya, lalu dikabulkanlah doa dan semua harapan saya satu per satu kelak. Saya seorang remaja yang kian beranjak dewasa dengan cita-cita yang selalu datang dimimpi saya setiap malamnya, menjadi seorang pribadi yang sukses khususnya dimata keluarga. Saya dibesarkan oleh seorang keluarga sederhana. Ya, bahkan bisa dibilang sederhana sekali. Saya tinggal bersama ibu, dua orang kakak dan seorang nenek. Merekalah orang-orang yang berharga bagi saya. Kehidupan membuat saya tak segan untuk memupuk mimpi sedari kecil. Ya, saya dibesarkan tanpa seorang ayah disisi. Tidak seperti anak kecil pada umumnya, bagi mereka ayahlah yang menjadi panutan dalam keluarga bahkan menemani tidur setiap malam. Akan tetapi, hal tersebut tidak bagi saya. Bermanja, bercerita dan menangis di depan sang ayah pun belum pernah saya rasakan. Ingin. Ah...tapi...sudah lah, toh saya sudah terbiasa dan sudah bisa berpikir dewasa sekarang.
Saya menggambarkan diri saya sebagai bagian dari mimpinya ibu. Mengapa? Ya, karena saya adalah salah satu dari tiga orang harapan ibu. Diberikan begitu banyak kasih sayang layaknya kasih sayang orang tua yang lengkap. Di pundak saya seperti tersimpan harapan dan doa ibu kelak saya menjadi perempuan yang mandiri dan sukses. Diberikanlah saya dasar-dasar pengetahuan sejak kecil, disekolahkanlah saya hingga perguruan tinggi, dididiklah saya menjadi pribadi yang sabar, kuat dan peduli terhadap lingkungan sekitar. “Saling tolong menolonglah! Berkacalah pada diri sendiri” begitulah kalimat yang selalu ibu ingatkan pada anak-anaknya agar kami peduli terhadap sesama meskipun sebenarnya kami memiliki kehidupan yang cukup sulit. Jika ingin sombong, ya, harus berkaca pada diri sendiri sudah sejauh mana kontribusi dan banyak hal yang saya punya?, begitu lah kata ibu terus mengingatkan.
Ya, inilah saya bagi keluarga. Meskipun terbilang anak bontot katanya, tetapi saya bisa membuktikan bahwa anak terakhir tidak melulu manja. Buktinya, saya bisa melindungi orang tua tunggal yang biasa saya sebut ibu. Bagi keluarga, katanya, saya adalah mutiara tanpa empunya. Kata ibu, ayah pasti gundah gulana kehilangan mutiaranya yang bahkan tak ia sadari selama ini. Sebagai salah satu tumpuan dan harapan ibu, menjadi perempuan yang sukses dan berguna bagi orang banyak merupakan kewajiban. Saya jadi teringat cita-cita masa kecil saya, ketika itu ingin sekali menjadi seorang dokter, agar ibu dan nenek (kedua orang terkasih yang merawat saya selama ini) terbebas dari rasa sakit. Ah, tapi dunia SMA tidak bersahabat dengan saya. Ya, saya tidak bersahabat dengan hal-hal yang berbau hitungan seperti matematika, fisika dan kimia. Pupus lah harapan saya. Akan tetapi tak apa, toh kajian sosial terasa lebih menarik bagi saya.
Sebelum ibu memutuskan untuk berhenti bekerja, jika dipikir-pikir rasanya sudah puluhan tahun ibu mengabdikan hidupnya untuk saya dan kakak-kakak saya. Ya, agar kami bisa makan dan bisa sekolah. Ketika itu, menjadi tulang punggung keluarga dirasa begitu berat tanggung jawabnya, tetapi hal tersebut tidak saya lihat dalam diri ibu. Begitu tegar dengan raut wajah yang selalu tersenyum. Jadi teringat dahulu, ketika ibu pulang kerja, saya sudah bersiap diri untuk duduk dihadapan ibu. Ibu berbaring, lalu saya pijiti kaki ibu perlahan sebagai cara untuk ibu melepas lelahnya setelah seharian bergelut dengan jalanan. Ya, inilah saya bagi keluarga, untuk saat ini hanya sebagian kecil yang bisa saya lakukan. Berharap meringankan beban meski hanya setitik debu pun.
Anak-anak ibu kini sudah beranjak dewasa. Beban ibu sedikit berkurang karena ibu berhasil menjadikan kedua anaknya sarjana. Ya, mereka adalah kedua kakak saya yang hidupnya selalu prihatin dengan kondisi yang ada. Super sekali bukan ibu saya? Sebagai  orang tua tunggal dengan jerih payahnya yang lambat laun membuahkan hasil. Kabar baik lainnya, tak terasa saya diterima disalah satu universitas negeri yang katanya bergengsi di Depok. Ya, inilah saya bagi keluarga, terutama ibu. Betapa bahagianya wajah ibu. Katanya, ini salah satu obat penawar rasa sakit kaki ibu yang dahulu rutin saya pijiti sepulang ibu bekerja.
Menjadi dewasa itu pilihan. Saya memutuskan untuk mencari pengalaman organisasi di kampus. Mencari pengalaman, memperbanyak teman dan menggali potensi serta keberanian yang ada. Itu merupakan salah satu bentuk pilihan kedewasaan bukan? Tak berhenti sampai disitu, rasa penasaran mengantarkan saya untuk berani melangkahkan kaki sebagai seorang pengajar. Setelah mencicipi berbagai organisasi dan kepanitiaan di kampus, saya mulai memutar otak untuk mencari tambahan uang jajan, syukur-syukur bisa membantu ibu membeli apa yang disenangi ibu. Saya mulai mengajar private anak sekolah dasar (SD). Lokasinya dibilangan Jakarta Selatan, tepatnya Kebayoran Baru. Ya, sangat jauh melihat rumah saya didaerah Depok. Awalnya ibu dan nenek tidak setuju karena lokasinya yang jauh. Akan tetapi, dengan meyakinkan niat saya yang tulus untuk menjadi seorang pengajar dan tentunya berbagi ilmu, akhirnya kedua orang yang saya sayangi luluh dan mengizinkan saya dengan syarat saya harus tetap fokus dengan kewajiban saya sebagai seorang yang berstatus mahasiswa. Ya, saya masih teringat ajaran ibu untuk berbagi apapun (dalam konteks positive) dan kepada siapapun.
Ya inilah saya, dengan bayaran hasil menjadi seorang pengajar private yang tak seberapa besar, tapi setidaknya saya bisa membuktikan kepada ibu bahwa saya pun bisa seperti ibu, menghasilkan uang dari keringat sendiri. Tergambar raut wajah bangga ibu ketika melihat saya. Ternyata anak bontot nya sudah bisa sedikit-sedikit mencari uang sendiri. Tak apalah jika uangnya hanya sekadar cukup untuk membeli mie ayam kesukaan ibu sebanyak delapan porsi beserta minumannya. Atau membeli jus melon kesukaan nenek di kedai dekat rumah. Selagi hal tersebut halal dan saya senang melakukannya, pasti ibu dan nenek selalu mendukung. Sedikit-sedikit dengan penghasilan mengajar saya, saya sudah tidak pernah minta uang jajan pada ibu lagi. Malah, kata ibu, ibu merasa kenyang akibat saya sering traktir. Begitupun kata nenek, saya bisa membelikan obat tulang atau minyak angin untuk nenek setiap minggunya jika dibutuhkan.
Ya, inilah saya bagi keluarga saya. Berusaha membuat mereka bangga terhadap hal-hal kecil yang saya lakukan. Memang belum seberapa, tetapi setidaknya ada senyuman setiap harinya diraut wajah orang-orang yang saya sayangi seperti ibu sebagai tulang punggung, dan nenek yang setia merawat saya dari 21 tahun yang lalu ketika ibu bekerja. Seperti sedikit demi sedikit rantai-rantai yang sebelumnya melilit terlepas satu per satu dari lilitan yang terpaksa telah menjerat kehidupan. Agak hiperbola memang. Ya, tetapi hal itulah yang benar-benar kami rasakan.
Inilah saya bagi keluarga saya. Berusaha menjadi mahasiswa selayaknya mahasiswa yang berprestasi dengan mengumpulkan pengalaman. Gumpalan harapan dan doa telah siap saya panggul untuk dapat mewujudkannya. Menyegerakan lulus dan menjadi seorang sarjana, mencari pengalaman bekerja di dinas pariwisata, lalu melanjutkan S2 Ilmu Hukum yang menjadi cita-cita saya sejak masuk SMA. Menjadi notaris atau konsultan hukum merupakan cita-cita yang selalu saya ceritakan kepada ibu setiap malamnya menjelang saya tidur. Saya teringat akan perkataan ibu mengenai ‘mutiara tanpa empunya’, saya berusaha mematahkan kalimat itu. Lho, saya ini punya ibu toh, harusnya diganti menjadi ‘mutiara empunya ibu’ Semoga impian saya dapat terwujud. Membahagiakan keluarga kecil saya, khususnya ibu dan nenek. Menjadi masyarakat berguna untuk negara yang nantinya akan berkontribusi sekuat tenaga. Kelak Sang Pencipta akan memeluk doa saya satu per satu. Panjang umur ya Bu, Nek.

Tragedi Segelas Es Teh Manis yang Tumpah

Teringat janjiku padanya untuk membawakan oleh-oleh khas Jogjakarta, kami memutuskan untuk bertemu. Ini kali kedua kami bertemu. Sejujurnya ...