Inilah
Saya Bagi Keluarga:
Mutiara Empunya Ibu
Perkenankanlah
saya merefleksikan sedikit coretan saya ini dengan harapan angin membawa
terbang cita-cita saya, lalu dikabulkanlah doa dan semua harapan saya satu per
satu kelak. Saya seorang remaja yang kian beranjak dewasa dengan cita-cita yang
selalu datang dimimpi saya setiap malamnya, menjadi seorang pribadi yang sukses
khususnya dimata keluarga. Saya dibesarkan oleh seorang keluarga sederhana. Ya,
bahkan bisa dibilang sederhana sekali. Saya tinggal bersama ibu, dua orang
kakak dan seorang nenek. Merekalah orang-orang yang berharga bagi saya. Kehidupan
membuat saya tak segan untuk memupuk mimpi sedari kecil. Ya, saya dibesarkan
tanpa seorang ayah disisi. Tidak seperti anak kecil pada umumnya, bagi mereka
ayahlah yang menjadi panutan dalam keluarga bahkan menemani tidur setiap malam.
Akan tetapi, hal tersebut tidak bagi saya. Bermanja, bercerita dan menangis di depan
sang ayah pun belum pernah saya rasakan. Ingin. Ah...tapi...sudah lah, toh saya sudah terbiasa dan sudah bisa berpikir
dewasa sekarang.
Saya
menggambarkan diri saya sebagai bagian dari mimpinya ibu. Mengapa? Ya, karena
saya adalah salah satu dari tiga orang harapan ibu. Diberikan begitu banyak
kasih sayang layaknya kasih sayang orang tua yang lengkap. Di pundak saya
seperti tersimpan harapan dan doa ibu kelak saya menjadi perempuan yang mandiri
dan sukses. Diberikanlah saya dasar-dasar pengetahuan sejak kecil, disekolahkanlah
saya hingga perguruan tinggi, dididiklah saya menjadi pribadi yang sabar, kuat
dan peduli terhadap lingkungan sekitar. “Saling tolong menolonglah! Berkacalah
pada diri sendiri” begitulah kalimat yang selalu ibu ingatkan pada anak-anaknya
agar kami peduli terhadap sesama meskipun sebenarnya kami memiliki kehidupan
yang cukup sulit. Jika ingin sombong, ya, harus berkaca pada diri sendiri sudah
sejauh mana kontribusi dan banyak hal yang saya punya?, begitu lah kata ibu
terus mengingatkan.
Ya,
inilah saya bagi keluarga. Meskipun terbilang anak bontot katanya, tetapi saya bisa membuktikan bahwa anak terakhir
tidak melulu manja. Buktinya, saya bisa melindungi orang tua tunggal yang biasa
saya sebut ibu. Bagi keluarga, katanya, saya adalah mutiara tanpa empunya. Kata
ibu, ayah pasti gundah gulana kehilangan mutiaranya yang bahkan tak ia sadari
selama ini. Sebagai salah satu tumpuan dan harapan ibu, menjadi perempuan yang
sukses dan berguna bagi orang banyak merupakan kewajiban. Saya jadi teringat
cita-cita masa kecil saya, ketika itu ingin sekali menjadi seorang dokter, agar
ibu dan nenek (kedua orang terkasih yang merawat saya selama ini) terbebas dari
rasa sakit. Ah, tapi dunia SMA tidak bersahabat dengan saya. Ya, saya tidak
bersahabat dengan hal-hal yang berbau hitungan seperti matematika, fisika dan kimia.
Pupus lah harapan saya. Akan tetapi tak apa, toh kajian sosial terasa lebih menarik bagi saya.
Sebelum
ibu memutuskan untuk berhenti bekerja, jika dipikir-pikir rasanya sudah puluhan
tahun ibu mengabdikan hidupnya untuk saya dan kakak-kakak saya. Ya, agar kami bisa
makan dan bisa sekolah. Ketika itu, menjadi tulang punggung keluarga dirasa
begitu berat tanggung jawabnya, tetapi hal tersebut tidak saya lihat dalam diri
ibu. Begitu tegar dengan raut wajah yang selalu tersenyum. Jadi teringat
dahulu, ketika ibu pulang kerja, saya sudah bersiap diri untuk duduk dihadapan
ibu. Ibu berbaring, lalu saya pijiti kaki ibu perlahan sebagai cara untuk ibu
melepas lelahnya setelah seharian bergelut dengan jalanan. Ya, inilah saya bagi
keluarga, untuk saat ini hanya sebagian kecil yang bisa saya lakukan. Berharap
meringankan beban meski hanya setitik debu pun.
Anak-anak
ibu kini sudah beranjak dewasa. Beban ibu sedikit berkurang karena ibu berhasil
menjadikan kedua anaknya sarjana. Ya, mereka adalah kedua kakak saya yang
hidupnya selalu prihatin dengan kondisi yang ada. Super sekali bukan ibu saya?
Sebagai orang tua tunggal dengan jerih
payahnya yang lambat laun membuahkan hasil. Kabar baik lainnya, tak terasa saya
diterima disalah satu universitas negeri yang katanya bergengsi di Depok. Ya,
inilah saya bagi keluarga, terutama ibu. Betapa bahagianya wajah ibu. Katanya,
ini salah satu obat penawar rasa sakit kaki ibu yang dahulu rutin saya pijiti
sepulang ibu bekerja.
Menjadi
dewasa itu pilihan. Saya memutuskan untuk mencari pengalaman organisasi di
kampus. Mencari pengalaman, memperbanyak teman dan menggali potensi serta
keberanian yang ada. Itu merupakan salah satu bentuk pilihan kedewasaan bukan?
Tak berhenti sampai disitu, rasa penasaran mengantarkan saya untuk berani
melangkahkan kaki sebagai seorang pengajar. Setelah mencicipi berbagai
organisasi dan kepanitiaan di kampus, saya mulai memutar otak untuk mencari
tambahan uang jajan, syukur-syukur bisa membantu ibu membeli apa yang disenangi
ibu. Saya mulai mengajar private anak
sekolah dasar (SD). Lokasinya dibilangan Jakarta Selatan, tepatnya Kebayoran
Baru. Ya, sangat jauh melihat rumah saya didaerah Depok. Awalnya ibu dan nenek
tidak setuju karena lokasinya yang jauh. Akan tetapi, dengan meyakinkan niat
saya yang tulus untuk menjadi seorang pengajar dan tentunya berbagi ilmu,
akhirnya kedua orang yang saya sayangi luluh dan mengizinkan saya dengan syarat
saya harus tetap fokus dengan kewajiban saya sebagai seorang yang berstatus
mahasiswa. Ya, saya masih teringat ajaran ibu untuk berbagi apapun (dalam
konteks positive) dan kepada siapapun.
Ya
inilah saya, dengan bayaran hasil menjadi seorang pengajar private yang tak seberapa besar, tapi setidaknya saya bisa
membuktikan kepada ibu bahwa saya pun bisa seperti ibu, menghasilkan uang dari
keringat sendiri. Tergambar raut wajah bangga ibu ketika melihat saya. Ternyata
anak bontot nya sudah bisa
sedikit-sedikit mencari uang sendiri. Tak apalah jika uangnya hanya sekadar
cukup untuk membeli mie ayam kesukaan ibu sebanyak delapan porsi beserta
minumannya. Atau membeli jus melon kesukaan nenek di kedai dekat rumah. Selagi
hal tersebut halal dan saya senang melakukannya, pasti ibu dan nenek selalu
mendukung. Sedikit-sedikit dengan penghasilan mengajar saya, saya sudah tidak pernah
minta uang jajan pada ibu lagi. Malah, kata ibu, ibu merasa kenyang akibat saya
sering traktir. Begitupun kata nenek, saya bisa membelikan obat tulang atau
minyak angin untuk nenek setiap minggunya jika dibutuhkan.
Ya,
inilah saya bagi keluarga saya. Berusaha membuat mereka bangga terhadap hal-hal
kecil yang saya lakukan. Memang belum seberapa, tetapi setidaknya ada senyuman
setiap harinya diraut wajah orang-orang yang saya sayangi seperti ibu sebagai
tulang punggung, dan nenek yang setia merawat saya dari 21 tahun yang lalu
ketika ibu bekerja. Seperti sedikit demi sedikit rantai-rantai yang sebelumnya
melilit terlepas satu per satu dari lilitan yang terpaksa telah menjerat
kehidupan. Agak hiperbola memang. Ya, tetapi hal itulah yang benar-benar kami rasakan.
Inilah
saya bagi keluarga saya. Berusaha menjadi mahasiswa selayaknya mahasiswa yang
berprestasi dengan mengumpulkan pengalaman. Gumpalan harapan dan doa telah siap
saya panggul untuk dapat mewujudkannya. Menyegerakan lulus dan menjadi seorang
sarjana, mencari pengalaman bekerja di dinas pariwisata, lalu melanjutkan S2
Ilmu Hukum yang menjadi cita-cita saya sejak masuk SMA. Menjadi notaris atau
konsultan hukum merupakan cita-cita yang selalu saya ceritakan kepada ibu
setiap malamnya menjelang saya tidur. Saya teringat akan perkataan ibu mengenai
‘mutiara tanpa empunya’, saya berusaha mematahkan kalimat itu. Lho, saya ini punya ibu toh, harusnya diganti menjadi ‘mutiara
empunya ibu’ Semoga impian saya dapat terwujud. Membahagiakan keluarga kecil saya,
khususnya ibu dan nenek. Menjadi masyarakat berguna untuk negara yang nantinya
akan berkontribusi sekuat tenaga. Kelak Sang Pencipta akan memeluk doa saya
satu per satu. Panjang umur ya Bu, Nek.
great
BalasHapusthankyou:)
BalasHapus